Minggu, 22 Maret 2009

Seminar, Peluncuran Buku, & Silaturahim

Asosiasi Pengajar Bahasa Indonesia (APBI) mengundang semua pengurus dan anggota untuk menghadiri acara Seminar Bahasa & Sastra Indonesia, Peluncuran Buku untuk Purnabakti Prof.Dr. Yus Rusyana; Prof.Dr.Sayamsudin A.R.,M.S. dan Prof.Dr.Kosadi Hidayat, serta acara Silaturahim APBI. Pelaksanaan Kegiatan pada tgl 13 April 2009, mulai pukul 08.30-selesai  bertempat di FPBS UPI Bandung. Mari bergabung bersama. Informasi lebih lengkap tentang hal ini, silakan hubungi Sekjen APBI: Drs. Dadang Anshori,M.Pd. No. HP 08122425991

(Diumumkan oleh Ketua Umum APBI)

Selasa, 10 Februari 2009

KREATIVITAS DALAM PEMBELAJARAN BERBICARA

Oleh: Dr. Andoyo Sastromiharjo, M.Pd.

1. Pengantar
Kreativitas merupakan salah satu upaya pemajanan diri dalam berbagai bidang kehidupan. Untuk menghadapi kehidupan globalisasi saat ini pikiran-pikiran kreatif sangat diperlukan. Orang-orang yang dapat melahirkan berbagai kegiatan atau pikiran kreatif dapat bertahan menghadapi arus informasi dan perkembangan teknologi. Misalnya, melalui perkembangan teknologi dan informasi, banyak orang yang memanfaatkan internet untuk menjual atau menawarkan barang. 
Agar pembelajaran bahasa tidak menimbulkan kebosanan dan kejenuhan, para guru pun dituntut untuk dapat melahirkan pikiran-pikiran kreatif. Melalui pikiran-pikiran kreatif dapat diciptakan berbagai metode, teknik, bahan, kegiatan, media, dan evaluasi pembelajaran yang menarik. Hasil berpikir kreatif tersebut diharapkan dapat meningkatkan prestasi belajar para siswa.
Dalam makalah ini saya mencoba menggagas beberapa hal yang terkait dengan kreativitas untuk pembelajaran berbicara. Namun, untuk memberikan gambaran mengenai kreativitas dalam pembelajaran berbicara, terlebih dahulu saya mencoba menggambarkan pengertian kreativitas dan keterkaitan kreativitas dengan bahasa.

2. Pengertian Kreativitas
Kreativitas merupakan suatu bidang kajian yang kompleks sehingga menimbulkan perbedaan pandangan. Sebagai kajian yang kompleks, kreativitas dikaji mulai dari sisi pemroduksinya, prosesnya, dan produknya. Kajian terhadap ketiga sisi ini menghasilkan rumusan konsep kreativitas yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut terutama tampak dalam pemberian pengertian terhadap istilah kreativitas. Misalnya, Guilford (dalam Supriadi,1994:7) menyatakan creativity refers to the abilities that are charachterictics of creative people. Pengertian tersebut berdimensi “orang” karena kreativitas diartikan sebagai kemampuan yang menandai orang kreatif. Lain halnya dengan Csikszentmihalyi (1996:8) yang memandang kreativitas dari dimensi “proses”, yakni creativity is a process by which a symbolic domain in the culture is changed dan Amabile (dalam Supriadi,1994:7) yang memandang kreativitas dari dimensi “produk”, yakni creativity can be regarded as the quality of product or respons judged to be creative by appropriate observes (lihat juga Hassoubah,2004: 50).
 Harris (1998) memandang kreativitas dari dua segi, yakni dari segi kemampuan (an ability) dan dari segi sikap (an attitude). Menurutnya kreativitas merupakan kemampuan untuk menghasilkan gagasan-gagasan baru, baik melalui penggabungan, perubahan, maupun penerapan kembali gagasan-gagasan yang ada dan kemampuan menerima perubahan dan kebaruan, kemauan untuk bermain dengan gagasan yang memungkinkan, kelenturan dalam berpandangan, kebiasaan menikmati dengan baik selagi mencari cara-cara untuk memperbaikinya.
 Selain berbagai pandangan tersebut, Piaw (2004:23-24) menjelaskan mengenai tiga perspektif tentang berpikir kreatif, yakni perspektif supernatural, rasionalisme, dan perkembangan. Dalam perspektif supernatural, kreativitas merupakan kemampuan alami bukan diciptakan melalui pelatihan. Salah satu prinsip dalam perspektif rasional adalah semua kegiatan dapat dijelaskan. Dengan demikian, berpikir kreatif dapat dijelaskan secara genetis, yakni sebagai suatu faktor biologis. Perspektif perkembangan diajukan melalui penelitian Gowan dalam hal tahap-tahap perkembangan menurut teori Piaget dan Frued. Menurut Gowan kreativitas berkembang melalui tiga tahap, yaitu (1) dunia, (2) ego, dan (3) yang lainnya. Perkembangan kreativitas merupakan suatu transformasi energi dari satu tahap perkembangan ke tahap perkembangan berikutnya hingga menuju dewasa.  
Keragaman pengertian istilah kreativitas tersebut pada dasarnya memiliki persamaan, yakni kreativitas dipandang sebagai sesuatu yang dimiliki seseorang untuk menunjukkan kemampuannya. Sesuatu tersebut dapat berupa gagasan atau karya nyata yang baru atau merupakan kombinasi dari yang sudah ada. Sternberg dan Lubart (1995:11) menyatakan bahwa unsur “baru” itu merupakan unsur yang penting untuk mendeskripsikan produk kreativitas di samping memiliki unsur “cocok”. Lebih lanjut Sternberg dan Lubart menyatakan bahwa sesuatu yang baru itu merupakan sesuatu yang tidak biasanya; produk yang baru itu bersifat asli, tidak dapat diprediksi, dan dapat memberikan kejutan bagi pengamatnya. Selain itu produk kreativitas memiliki kelayakan atau kebergunaan. Pandangan Sternberg dan Lubart ini sejalan dengan pendapat Baron (dalam Supriadi,1994:7) yang menyatakan creativity is the ability to bring something new into existence atau juga Stein (dalam Supriadi,1994: 10) yang menyatakan the creative work is a novel work that is accepted as tenable or useful or satisfying by a group in some point in time. 
Dari berbagai pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kreativitas adalah kemampuan individu untuk meraih aktualisasi diri melalui gagasan atau karya nyata, baik yang bersifat baru maupun kombinasi dari yang sudah ada. 

3. Kreativitas dan Penggunaan Bahasa
Perbincangan tentang bahasa tidak pernah berakhir. Berbagai hipotesis telah banyak dibuktikan sehingga lahir berbagai kajian tentang bahasa. Namun, pertanyaan-pertanyaan hipotesis lain muncul untuk menjadi bahan kajian para pemerhati bahasa. Sekaitan dengan topik ini, ada beberapa pertanyaan yang patut mendapat perhatian, di antaranya (1) adakah keterkaitan antara bahasa dan kreativitas, (2) apakah kreativitas dapat muncul tanpa bahasa, dan (3) apakah kegiatan berbahasa merupakan kegiatan kreatif.
 Sebagai sebuah entitas, bahasa dikaji dari berbagai disiplin ilmu sesuai dengan keterkaitannya. Dalam kajian sosiologi bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi suatu komunitas yang berbudaya tertentu. Melalui bahasa antarindividu dapat menyampaikan pikiran dan perasaannya untuk membangun kehidupan dalam komunitas tersebut. Saussure (1965:15) mengatakan bahwa language is a social institutions ‘bahasa merupakan lembaga sosial’. Untuk memberikan gambaran tentang bahasa, Saussure menggunakan tiga istilah, yaitu langage ‘bahasa secara umum’, langue ‘sistem bahasa tertentu’, dan parole ‘ujaran’. Sebagai fakta sosial, bahasa digunakan oleh manusia untuk melakukan kegiatan antarsesama dalam rangka membentuk satu komunitas sesuai dengan budayanya. Dengan demikian, bahasa berperan sebagai alat komunikasi. Agar komunikasi dapat terjalin, sistem bahasa (sistem fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik) yang digunakan harus berada dalam keadaan homogen. Karena sistem bahasa berada dalam keadaan homogen, individu dalam komunitas tertentu dapat memiliki langue bahasa tertentu. Adapun parole setiap individu dalam keadaan heterogen bergantung pada penguasannya terhadap langue. Selain ketiga istilah tersebut, Saussure memberikan dua istilah lain untuk menyatakan hakikat bahasa, yakni signifie dan signifiant. Signifie mengacu pada gambaran psikologis yang abstrak dari suatu bagian alam sekitar kita dan signifiant mengacu pada gambaran psikologis abstrak dari aspek bunyi suatu unsur bahasa (Kridalaksana, 2001:197). Dengan demikian, bahasa sebagai alat komunikasi memungkinkan setiap individu dalam komunitas tertentu dapat bekerja sama. 
Kreativitas merupakan proses yang digunakan seseorang untuk mengekspresikan sifat dasarnya melalui suatu bentuk atau medium sedemikian rupa sehingga menghasilkan rasa puas pada dirinya; menghasilkan suatu produk yang mengomunikasikan sesuatu tentang diri orang tersebut kepada orang lain (Bean, 1995:3). Batasan tersebut menyiratkan kedudukan bahasa sebagai alat dan sekaligus salah satu media pengejawantahan daya kreatif seseorang. Tanpa bahasa manusia tidak dapat melakukan kegiatan berpikir sebab alat yang memungkinkan untuk melahirkan gagasan adalah bahasa di samping organ tubuh. Dengan bahasa setiap orang dapat memproses segala peristiwa yang dialaminya atau yang ditangkapnya melalui pancaindera. Semakin tajam daya berpikir seseorang, semakin cermat penggunaan bahasanya. Dengan demikian, peran bahasa tidak bisa dilepaskan dari kegiatan kreatif seseorang. Dengan kata lain, bahasa dan kreativitas merupakan dua sisi yang berbeda, tetapi keduanya tidak bisa dipisahkan.
Berdasarkan batasan tersebut terlihat bahwa kreativitas dapat dipandang sebagai proses dan hasil. Artinya, kreativitas tidak hanya dipandang sebagai proses untuk melahirkan produk tertentu, tetapi juga produk yang dihasilkan. Ketika seseorang melakukan kegiatan kreatif, orang lain tidak bisa melihat bagaimana semua potensi yang dimiliki orang tersebut diberdayakan. Orang lain hanya melihat bahwa seseorang sedang berpikir. Ketika hasil akhir dipajankan, barulah orang lain mengagumi sesuatu yang dihasilkannya. Rasa kagum itu biasanya diungkapkan melalui bahasa “Wah, karya yang luar biasa!”, “Sungguh bagus karya Anda!”, “Kreatif sekali Anda!”. Ungkapan-ungkapan tersebut disampaikan sebagai penghargaan atas munculnya kreativitas pada diri seseorang. Dari ungkapan tersebut, kita dapat menilai bahwa proses kreatif dapat menghasilkan sesuatu yang baik sehingga Armstrong (1994:13) memasukkan kreativitas sebagai salah satu kecerdasan selain delapan kecerdasan yang telah diungkap Gardner. Namun, hasil kreatif seseorang mungkin juga akan ditanggapi dengan bahasa “Sayang, hasilnya masih harus ditingkatkan lagi!”, “Waduh, hasilnya belum memuaskan!”, atau “Kreasi Anda masih jauh dari yang kami harapkan!”. Penilaian negatif terhadap kegiatan kreatif tersebut membuktikan bahwa kreativitas bersifat pribadi (Bean, 1995:5). Maksudnya, kreativitas dapat bernilai positif dan dapat pula negatif bergantung pada faktor kepekaan, kecermatan, dan keluasan wawasan seseorang. Meskipun demikian, batasan kreativitas yang dipahami orang sampai saat ini hanyalah yang berkait erat dengan sesuatu yang bernilai positif.
Kreativitas sebagai hasil pemberdayaan kegiatan berpikir tersebut pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari bahasa. Untuk karya-karya hasil kreatif seseorang yang bukan dalam bentuk bahasa, misalnya, lukisan, patung, dan barang-barang elektronik sangat sulit dilihat bahwa kreativitas berhubungan dengan bahasa. Padahal, untuk memunculkan daya kreatif tersebut diperlukan media berupa bahasa. Tanpa bahasa, potensi biologis yang dimiliki seseorang tidak akan mampu melahirkan gagasan-gagasan kreatif. Dengan demikian, kreativitas tidak dapat dipisahkan dengan bahasa karena bahasa sangat berperan sebagai media untuk melakukan dan melahirkan pikiran kreatif.
Pertanyaan ketiga berkenaan dengan apakah berbahasa merupakan sebuah kreativitas. Bahasa merupakan sebuah entitas yang hanya dimiliki dan dikuasai manusia. Meskipun demikian, bahasa tidak begitu saja muncul dalam kehidupan manusia. Untuk dapat digunakan sebagai alat komunikasi atau media menciptakan kreativitas, bahasa perlu dikuasai terlebih dahulu. Potensi untuk dapat berbahasa itu sudah dimiliki manusia sejak lahir sebagaimana yang disebut Chomsky sebagai Language Acquisition Device (LAD). Namun, untuk dapat berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulis peranti ini harus dikembangkan melalui pemerolehan alami atau pembelajaran. Dengan pengembangan peranti ini pada akhirnya manusia dapat menggunakan bahasa secara sempurna untuk menyimak, membaca, berbicara, atau menulis. 
Pada saat aspek keterampilan berbahasa tersebut diaktifkan, berbagai perangkat yang terkait pun aktif untuk melakukan perencanaan dan pelaksanaannya. Dengan kata lain, kegiatan berbahasa melibatkan dua unsur, yakni perencanaan dan pelaksanaan. Perencanaan dan pelaksanaan untuk keterampilan menyimak dan membaca (membaca pemahaman) berada dalam kondisi menerima (bersifat reseptif) sehingga tidak bisa diamati secara langsung karena hasilnya berupa pemahaman. Sebaliknya, keterampilan berbicara dan menulis merupakan keterampilan yang pelaksanaannya bersifat produktif atau dapat diamati secara langsung karena hasilnya berupa tuturan dan tulisan. Perencanaan dan pelaksanaan dalam kegiatan berbahasa ini dijelaskan panjang lebar oleh Clark and Clark (1977:223-258). Clark and Clark menjelaskan bahwa untuk melahirkan tuturan, misalnya, penutur harus melakukan perencanaan wacana, kalimat, konstituen, program artikulasi, dan artikulasi. Di samping itu ada lima unsur yang harus dipertimbangkan, yakni pengetahuan pendengar, prinsip kerja sama, prinsip realitas, konteks sosial, dan alat bahasa.
Untuk mendapat gambaran bahwa kegiatan berbahasa merupakan kegiatan kreatif, dapat disajikan dua contoh kalimat berikut ini.
(1) Permasalahan itu dapat diselesaikan melalui dua cara.
(2) Penyelesaian masalah itu dapat ditempuh melalui dua cara.
Kedua kalimat tersebut memiliki makna yang sama. Namun, kalau kita cermati, keduanya memiliki kadar kreativitas yang berbeda. Kalimat (2) merupakan kalimat hasil perubahan struktur leksikal dari kalimat (1). Verba selesai pada kalimat (1) berposisi sebagai predikat, sedangkan pada kalimat (2) berposisi sebagai nomina. Proses perubahan ini memerlukan daya kreativitas yang kompleks karena tidak hanya melibatkan perubahan verba menjadi nomina, tetapi juga peran semantis yang dimiliki kata penyelesaian sehingga muncul verba ditempuh.



4. Wacana sebagai Produk Kreativitas Berbahasa
Wacana sebagai satuan bahasa tertinggi mulai dikenal di Indonesia sejak tahun 1970-an (Djajasudarma, 1994:1). Menurut Djajasudarma (1994:2) wacana adalah unsur gramatikal tertinggi yang direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh dengan amanat lengkap dan dengan koherensi serta kohesi tinggi. Batasan ini tidak jauh berbeda dengan Kridalaksana (2001:231) yang memberikan batasan wacana sebagai satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf, kalimat, atau kata yang membawa amanat yang lengkap. Edmondson (1981:4) menyatakan wacana adalah peristiwa terstruktur yang direalisasikan dalam perilaku linguistik (bahasa) atau yang lainnya. Dari pernyataan Edmondson tersebut dapat dikatakan bahwa wacana dapat berupa tuturan lisan dan tuturan tulis.  
Berbagai batasan di atas tampaknya tidak ada yang berbeda bahwa wacana merupakan struktur kebahasaan tertinggi. Melalui wacana, penulis (pembicara) berusaha menyampaikan apa yang dipikirkan dan dirasakan kepada pembaca (pendengar). Dengan demikian, wacana merupakan alat penyalur pesan dari penulis (pembicara) kepada pembaca (pendengar). Sebagai alat penyalur pesan, unsur kesatuan dan kepaduan sangat diperlukan di dalam wacana (Marahimin, 2001:39). Untuk itu, kegiatan berbahasa akan mudah diamati melalui wacana sebab di dalam wacana terkandung pikiran-pikiran penulisnya. Shi-xu (1998) menyatakan bahwa discourse is dynamic and creative with respect to reality. Lebih lanjut dia menyatakan bahwa wacana merefleksikan pola-pola berpikir dan bertindak secara kultural. Pernyataan Shi-xu ini menunjukkan bahwa di dalam wacana terkandung pikiran-pikiran yang berkaitan dengan realitas kehidupan.
Di dalam kajian linguistik terdapat satuan-satuan bahasa yang satu dengan yang lainnya berhubungan untuk membentuk makna tertentu atau mengungkapkan maksud tertentu. Satuan yang dimaksud adalah kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana. Satuan-satuan tersebut dalam kegiatan berbahasa tidak berdiri sendiri-sendiri, tetapi saling terkait. Dengan demikian, kata sebagai kata, frasa sebagai frasa, klausa sebagai klausa, dan kalimat sebagai kalimat belum mampu mewadahi kegiatan berbahasa yang sebenarnya. Dengan kata lain, kegiatan berbahasa memerlukan kesatuan dan kepaduan satuan-satuan bahasa tersebut yang secara hierarkis tersusun mulai dari kata hingga wacana.

5. Hakikat Pembelajaran Bahasa
Di dalam KTSP dinyatakan bahwa belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi. Pernyataan tersebut berimplikasi bahwa siapa pun yang mempelajari suatu bahasa pada hakikatnya sedang belajar berkomunikasi. Thompson (2003:1) menyatakan bahwa komunikasi merupakan fitur mendasar dari kehidupan sosial dan bahasa merupakan komponen utamanya. Pernyataan tersebut menyuratkan bahwa kegiatan berkomunikasi tidak bisa dilepaskan dengan kegiatan berbahasa. Oleh sebab itu, para linguis terapan (khususnya dalam bidang pengajaran dan pembelajaran bahasa) selalu berupaya untuk melahirkan pikiran-pikiran barunya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran bahasa sehingga para siswa mampu menunjukkan kinerjanya dalam berbahasa.
Dalam dunia pembelajaran bahasa, pendekatan komunikatif telah berkembang sejak tahun 1970-an di berbagai belahan dunia (Periksa Burns and Joyce, 1999:49). Pelahiran pendekatan tersebut dipicu kurang berhasilnya metode Tatabahasa dan Terjamahan (Grammar and Translation Method) meningkatkan prestasi belajar. Pikiran baru tersebut menghasilkan metode Langsung (Direct Method) untuk digunakan para guru dalam pembelajaran bahasa. 
Selain untuk berkomunikasi, pembelajaran bahasa juga ditujukan untuk menumbuhkan kebanggaan dalam berbahasa. Menurut pengamatan saya (masih dalam bentuk hipotesis), para siswa kurang memiliki motivasi untuk menggunakan bahasa Indonesia. Karena kurang (tidak) memiliki motivasi, kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia menjadi menurun, bahkan implikasinya terasa dalam pencapaian prestasi belajar yang kurang membanggakan. Kondisi seperti itu memerlukan pikiran-pikiran baru (kreatif) dalam pembelajaran bahasa sehingga kebanggaan berbahasa Indonesia menjadi tumpuan bangsa Indonesia (khususnya). 


6. Kreativitas dalam Pembelajaran Berbicara
Berbicara merupakan salah satu aspek keterampilan berbahasa. Keterampilan berbicara merupakan keterampilan produktif karena dalam perwujudannya keterampilan berbicara menghasilkan berbagai gagasan yang dapat digunakan untuk kegiatan berbahasa (berkomunikasi) selain keterampilan menulis. Dua keterampilan lainnya (menyimak dan membaca) merupakan keterampilan reseptif atau keterampilan yang tertuju pada pemahaman. Dalam kaitan kreativitas, keterampilan berbicara merupakan salah satu keterampilan yang perlu mendapat perhatian karena gagasan-gagasan kreatif dalam dihasilkan melalui keterampilan tersebut.
Ketika kita mendengar kata ”berbicara”, pikiran kita tertuju pada kegiatan ”berpidato”. Padahal, berpidato hanya merupakan salah satu bagian dari keterampilan berbicara. Tampaknya, dalam menghadapi era globalisasi saat ini keterampilan berbicara perlu terus ditingkatkan sehingga pengguna bahasa mampu menerapkan keterampilan tersebut untuk berbagai bidang kehidupan, misalnya, berwawancara, berdiskusi, bermain peran, bernegosiasi, berpendapat, dan bertanya. Untuk itu, dalam dunia pembelajaran para guru bahasa dituntut untuk dapat melakukan ”terobosan” sehingga pembelajaran bahasa yang dilaksanakannya dapat memenuhi tuntutan zaman, terutama dalam hal pembelajaran berbicara.
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia guru diharapkan mampu memberikan pembelajaran untuk berbagai aspek keterampilan berbahasa. Kompetensi memberikan pembelajaran terkait dengan berbagai faktor, di antaranya merumuskan indikator dan tujuan, mengorganisasikan bahan, mengonstruk alat evalusi, mengemas kegiatan, meracik metode dan teknik, dan mendedah sumber dan media pembelajaran. Ketujuh faktor tersebut memerlukan keterampilan guru sehingga pembelajaran bahasa berlangsung dengan mengikuti kaidah PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan). 
Untuk mengejawantahkan ketujuh faktor tersebut, berikut ini saya sajikan beberapa masukan untuk merancang kreativitas dalam pembelajaran berbicara. Pikiran saya tentang kreativitas dalam pembelajaran berbicara saya tuangkan dalam ”Nawa sila basa” sebagai berikut.
1. Guru bahasa harus siap untuk berpikir kritis dan kreatif.
2. Rumuskanlah indikator yang tepat sesuai dengan rumusan komptensi dasar yang hendak dicapai.
3. Rancanglah tujuan pembelajaran yang dapat dicapai untuk waktu yang tersedia.
4. Konstruklah alat evaluasi yang tepat sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
5. Carilah topik kegiatan berbicara yang tengah menjadi sorotan publik.
6. Organisasikan bahan secara sistematis dengan mengikuti prinsip-prinsip pembelajaran (dari yang mudah ke yang sukar, dari yang dekat ke yang jauh, dari yang dikenal ke yang tidak dikenal, dari yang sederhana ke yang kompleks).
7. Kemaslah kegiatan pembelajaran yang menarik (pembelajaran tidak selalu dibatasi empat dinding kelas).
8. Raciklah metode dan teknik yang dapat menumbuhkan minat siswa belajar dan tertarik dengan pembelajaran bahasa.
9. Dedahlah sumber dan media pembelajaran yang dapat menumbuhkan pikiran-pikiran kritis dan kreatif.

Sumber Rujukan
Armstrong, T. 1995. Multiple Intelligences in the Classroom. Alexandria: 
  Association for Supervision and Curriculum Development.

Bean, R. 1993. Cara Mengembangkan Kreativitas Anak. Terjemahan Meitasari 
Tjandrasa. 1995. Jakarta: Bina Rupa Aksara.

Burns, A. dan Joyce, H. 1999. Focus on Speaking. Sydney: National Centre for English 
Language Teaching and Research Macquarie University.

Clark, H.H. dan Clark, E.V. 1997. Psychology and Language. London: Harcourt Brace 
Jovanovich Publishers.

Csikszentmihalyi, M.1996. Creativity. New York: Harper Collins Publishers.

Djajasudarma, F. 1994. Wacana. Bandung: Rosda Karya.

Harris, R.1998. Introduction to Creative Thinking, (Online), (http://www. 
Virtualsalt com/crebook 1.html. diakses 3 Desember 2004).

Hassoubah, Z.I. 2002. Developing Creative & Critical Thinking Skills: Cara 
  Berpikir Kreatif & Kritis. Terjemahan Bambang Suryadi. 2004. Bandung: 
  Nuansa.

Kridalaksana, H. 2001. Kamus Linguistik. Edisi Ketiga. Jakarta: Gramedia. 

Piaw, Ch.Y. 2004. Creative and Critical Thinking Styles. Serdang: Universiti 
Putra Malaysia Press.

Sastromiharjo, A. 2006. “Kreativitas dan Penggunaan Bahasa”. Jurnal Artikulasi Vo. 3 
No. 5 April 2006.

Saussure, F. 1965. Cours in general Linguistics. Terjemahan Wade Baskin. New 
York: McGraw-Hill.

Supriyadi, D. 1994. Kreativitas, Kebudayaan & Perkembangan IPTEK. Bandung: 
Alfabeta.

Steinberg, R.J. dan Lubart, T.I. 1995. Defying the Crowd: Cultivating Creativity 
in a Culture of Conformity. New York: The Free Press.

Thompson, N. 2003. Communication and Language. Ney York: Palgrave Macmillan.

Xu, S.1998. The Discourse of Mind: A Social Constructionist Linguistics Outlook, 
(Online), (http://www.udc.es/dep/lx/cac/aaa1998/shi-xu.htm, diakses 
28 September 2004). 


Rabu, 04 Februari 2009

Pembelajaran Membaca Berbasis Teks Hasil Pengukuran Keterbacaan


Oleh: Suherli

A. Pendahuluan
Tulisan ini dimaksudkan untuk membuka wawasan para pendidik tentang peningkatan pembelajaran membaca dengan menggunakan teks yang terlebih dahulu dikaji keterbacaannya. Pembelajaran membaca dimaksudkan untuk meningkatkan kompetensi membaca, seperti membaca pemahaman, ekstensif, intensif, sekilas, cepat, dan memindai. Selain itu, perlu pula meningkatkan kualitas bacaan, ketika peserta didik belajar membaca teks, grafik, tabel, atau bacaan rumpang. Hal lain, yang juga sangat penting dilakukan pendidik adalah mengubah perilaku, motivasi, sikap, dan budaya membaca peserta didik.
Apabila dicermati secara mendalam, ternyata separuh hidup manusia digunakan untuk membaca, apalagi jika seseorang berada dalam lingkungan pendidikan. Siswa setiap saat berkomunikasi dengan bacaan, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Mahasiswa setiap saat berkomunikasi dengan bacaan untuk menggali keilmuan sesuai dengan minat masing-masing. Setiap saat, kita membaca berbagai lambang, baik dalam bentuk teks, pamflet, spanduk, plang, pengumuman, poster, acara televisi, jadwal perjalanan kereta, indeks bursa, nomor dan jurusan angkot, iklan, internet, hingga hot spot. Kondisi ini menunjukkan bahwa kegiatan membaca mendominasi seluruh kehidupan manusia sehingga pembelajaran membaca menjadi sangat penting ditingkatkan kualitasnya. Salah satu upaya yang perlu dilakukan pendidik adalah membelajarkan peserta didik dalam mengembangkan kompetensi membaca berbasis teks hasil kajian keterbacaan. 
Perbincangan keterbacaan akan selalu bertemali dengan bahasan kegiatan membaca dan pembaca, serta bahasan interaksi antara bacaan dengan pembaca. Kegiatan membaca berhubungan dengan fungsi indra baca dalam memaknai lambang atau simbol bacaan sebagai salah satu bentuk kegiatan berkomunikasi. Bahasan pembaca akan berhubungan dengan karakteristik seorang pembaca dan profil membaca. Oleh karena itu, bahasan interaksi pembaca dengan bacaan merupakan gabungan kebermaknaan simbol bacaan dan profil membaca dari seorang pembaca dengan bacaan. 
Kegiatan membaca telah menjadi kebutuhan dasar bagi setiap manusia modern. Wassman & Rinsky (2000) memprediksi terjadinya “an explosion of technological and general knowledge” pada abad ini dan terutama akan dikomunikasikan melalui buku dan barang cetakan lainnya, selain melalui internet. Oleh karena masyarakat modern akan selalu dibanjiri oleh berbagai jenis bacaan, mereka akan senantiasa meningkatkan kemampuan membacanya agar menjadi pembaca yang efektif dengan menggunakan strategi membaca dalam memahami bahan bacaan secara efisien.
Sampai saat ini, masih belum ditemukan suatu formula yang ampuh dalam menentukan tingkat keterbacaan suatu bacaan dalam bahasa Indonesia. Dari Discovery School (Schrock, 1995), disodorkan beberapa formula pengukuran keterbacaan, misalnya formula Dale-Chall yang digunakan untuk mengukur pemahaman bahan bacaan berdasarkan penguasaan tingkatan di bawahnya. Formula Flesch Reading Ease digunakan untuk mengukur kematangan bacaan yang ditunjukkan melalui rentang skor dari 0 sampai dengan 100. Formula Flesch Grade Level digunakan untuk mengukur bacaan dari dasar hingga menengah. Formula Fry Graph digunakan untuk menetapkan tingkatan kesesuaian bahan bacaan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Formula FOG digunakan untuk menetapkan dan menjaga penggunaan bahan bacaan dalam suatu penerbitan. Formula Powers-Sumner-Kearl digunakan untuk mengukur keutamaan bacaan melalui tingkatan dasar. Formula SMOG digunakan untuk memprediksi usia baca suatu bahan bacaan secara komprehensif. Formula FORCAST memfokuskan pada pengukuran fungsi literasi (kemelekwacanaan). Formula Spache digunakan untuk mengukur penguasaan kosakata siswa ke dalam empat tingkatan. Namun, formula-formula di atas hanya melakukan pengukuran berdasarkan penggunaan kata dalam suatu bacaan. Oleh karena itu, kajian membaca dan keterbacaan untuk mengukur teks berbahasa Indonesia atau teks bahasa Inggris untuk orang Indonesia masih memerlukan sentuhan para akademisi, baik sebagai bagian dari kegiatan penelitian dan pengabdian maupun sebagai penyelesasian studi.  
Kajian-kajian keterbacaan yang pada umumnya disajikan masih sebatas pada kalkulasi teks tersebut jika dibaca, berdasarkan pandangan psikologi perkembangan pembaca. Sementara itu, dari kepentingan suatu komunikasi keilmuan antara penulis teks dengan pembaca memiliki manfaat yang sangat luar biasa dalam pengembangan kualitas komunikasi keilmuan. Ketika seorang siswa atau mahasiswa menunjukkan daya serap terhadap bacaan, sebagai upaya penggalian informasi akademik, komunikasi tersebut akan terhambat jika derajat keterbacaan teks tersebut rendah. Untuk itulah mengukur keterbacaan suatu teks diperlukan, sebelum menggunakan teks tersebut dalam pembelajaran membaca.  


B. Membaca
Membaca merupakan salah satu keterampilan berbahasa, di samping keterampilan menyimak, berbicara, dan menulis. Keempat keterampilan ini merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Tarigan (1984) menyatakan bahwa keterampilan ini merupakan keterampilan catur tunggal, artinya empat tetapi satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Membaca merupakan kegiatan memaknai lambang-lambang bunyi atau lambang ortografis tertulis dalam kegiatan berbahasa. Pemaknaan ini akan dapat diwujudkan jika seseorang terlebih dahulu memahami fonologis dari lambang tersebut dan memahami makna morfologis dalam kaitan untaian kata pada suatu tata kalimat. 
 Secara hierarkis keterampilan membaca dimiliki seseorang bertolak dari keterampilan dasar lain, yaitu menyimak dan berbicara. Keterampilan membaca dibangun oleh kerangka pemahaman aspek kebahasaan yang diperolehnya dari aktivitas menyimak yang dilakukan. Kadar kemampuan ini dibangun pula oleh aktivitasnya dalam berbicara, sehingga fondasi awal tersebut bertemali secara erat dalam membentuk keterampilan membaca seseorang. Namun demikian, terdapat aspek yang sangat dominan dalam menentukan keterampilan membaca seseorang, yaitu pembelajaran memaknai lambang-lambang. Seseorang yang tidak mengalami pembelajaran memaknai lambang-lambang akan bertumpu pada kemampuan menyimak dan berbicara, sebagai bagian dari pemerolehan bahasa (language acquisition).
 Seseorang memiliki kemampuan membaca sangat beragam. Kemampuan tersebut bergantung pada pemahaman aspek kebahasaan dan ditentukan pula oleh usia pendidikan, aktivitas, pengalaman, dan motivasi dalam melakukan kegiatan membaca. Dalam pandangan ini maka membaca merupakan interaksi antara kemampuan membaca seseorang dengan bacaan. Bacaan akan memantulkan makna dan pembaca akan memaknai bacaan atas dasar latar belakang pembaca yang dipengaruhi oleh aspek-aspek yang berhubungan dengan pembaca. 
Pembaca akan memaknai bacaan sesuai dengan pemahaman kata dan maknanya atau bergantung pada word recognition yang dimilikinya. Dengan demikian, pembaca akan melakukan pengenalan kosakata (word recognition) pada saat melakukan kegiatan membaca yang dipengaruhi oleh latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang dimilikinya. Oleh karena itu, dalam kegiatan membaca seseorang bukan hanya harus memiliki kapasitas mengerti makna konseptual dari tulisan atau lambang bunyi, melainkan harus memiliki pula kemampuan berpartisipasi aktif secara penuh dalam menerapkan pemahaman sosial dan intelektual (White, 1985:56) yang merupakan background knowledge seseorang.
Bacaan merupakan hasil berpikir seseorang dalam berkomunikasi yang dituangkan ke dalam bentuk tulisan. Suatu bacaan secara kasat mata merupakan suatu kumpulan penggunaan kata, proses dekoding fonem-grafem, dan penggunaan unsur sintaksis. Bacaan selalu mengusung pesan hasil berpikir seseorang untuk dikomunikasikan kepada pembaca. Ketika pembaca memberikan pemaknaan terhadap lambang fonem-grafem berdasarkan word recognition dan background knowledge maka pemaknaan tersebut akan ditentukan pula oleh keadaan bacaan tersebut. 
   
C. Apakah Keterbacaan itu?
Keterbacaan dalam istilah bahasa Inggris disebut readability. Keterbacaan itu adalah kemampuan untuk dibaca dari seluruh unsur yang ada dalam teks (termasuk di dalamnya interaksi antar-teks) dan berpengaruh terhadap keberhasilan pembaca dalam memahami materi yang dibacanya pada kecepatan membaca yang optimal (Dale & Chall dalam Gilliland, 1972). Mc Laughin menambahkan bahwa keterbacaan itu berkaitan dengan pemahaman karena bacaan itu memiliki daya tarik tersendiri yang memungkinkan pembacanya terus tenggelam dalam bacaan.
Gilliland kemudian menyimpulkan keterbacaan itu berkaitan dengan tiga hal, yakni kemudahan, kemenarikan, dan keterpahaman. Kemudahan membaca berhubungan dengan bentuk tulisan, yakni tata huruf (topografi) seperti besar huruf dan lebar spasi. Kemudahan ini berkaitan dengan kecepatan pengenalan kata, tingkat kesalahan, jumlah fiksasi mata per detik, dan kejelasan tulisan (bentuk dan ukuran tulisan). Kemenarikan berhubungan dengan minat pembaca, kepadatan ide pada bacaan, dan keindahan gaya tulisan. Keterpahaman berhubungan dengan karakteristik kata dan kalimat, seperti panjang-pendeknya dan frekuensi penggunaan kata atau kalimat, bangun kalimat, dan susunan paragraf. 
Selanjutnya, Klare (1984:726) menyatakan bahwa bacaan yang memiliki tingkat keterbacaan yang baik akan memengaruhi pembacanya dalam meningkatkan minat belajar dan daya ingat, menambah kecepatan dan efisiensi membaca, dan memelihara kebiasaan membacanya.
Pada dasarnya, tingkat keterbacaan itu dapat ditentukan melalui dua cara, yaitu melalui rumus/formula keterbacaan dan melalui respons pembaca (McNeill, et.al., 1980; Singer & Donlan, 1980). Formula keterbacaan pada dasarnya adalah instrumen untuk memprediksi kesulitan dalam memahami bacaan. Skor keterbacaan berdasarkan formula ini didapat dari jumlah kata yang dianggap sulit, jumlah kata dalam kalimat, dan panjang kalimat pada sampel bacaan yang diambil secara acak. Formula Flesch (1974), Grafik Fry (1977), dan Grafik Raygor (1984) menggunakan rumus keterbacaan yang hampir sama. Dari ketiga formula itu, Grafik Fry lebih populer dan banyak digunakan karena formula ini relatif sederhana dan mudah digunakan. 
Tingkat keterbacaan wacana juga dapat diperoleh dari tes keterbacaan terhadap sejumlah pembaca dalam bentuk tes kemampuan memahami bacaan. Tes itu menguji apa yang disebutkan oleh Bernhardt (1991) sebagai ’enam faktor heuristic dalam pemahaman isi bacaan’. Tiga faktor berkaitan dengan teks (text driven), yaitu pengenalan kata, proses dekoding fonem-grafem, dan pengenalan sintaksis kalimat. Tiga faktor lain berhubungan dengan pengetahuan pembaca (knowledge driven), yaitu intra-textual perception, metacognition, dan prior knowledge. Ketiga faktor terakhir itu sifatnya tersembunyi dan tersirat, sebagaimana telah dibahas pada bagian terdahulu. 
Sementara itu, Gilliland (1972) menyebutkan lima cara mengukur tingkat keterbacaan, yakni penilaian subjektif, tanya jawab, formula keterbacaan, grafik & Carta, dan teknik cloze. Penilaian subjektif dilakukan oleh sejumlah orang tertentu – seperti guru, pustakawan, editor, dan kelompok pembaca berdasarkan pengamatan atas isi, pola, kosakata, format dan pengorganisasian suatu bacaan. Oleh karena sifatnya subjektif, keabsahan hasil penilaiannya bergantung pada keandalan para penilai. Jika penilai memiliki pengetahuan yang memadai tentang aspek-aspek keterbacaan, maka hasil penilaian biasanya memiliki validitas yang baik.

D. Bacaan, Membaca, dan Keterbacaan
Dalam literatur linguistik, teori membaca dikelompokkan berdasarkan tiga perspektif, yaitu perspektif kognitif, perspektif sosial, dan perspektif operasi teks-dan-pengetahuan (text-driven and knowledge-driven operation). Dalam padangan ahli kognitif, seorang pembaca adalah seperti sebuah komputer, ia memiliki pusat pemrosesan data yang terletak di dalam otaknya (Bernhardt, 1991: 8). Informasi yang didapat dari bacaan adalah input yang diolah oleh otak melalui beberapa tahapan dengan menggunakan hipotesis “jika…maka…”. Pemahaman akan didapat apabila hipotesis itu telah dapat dijawab pembaca. Dalam pandangan ini, pembaca dianggap sebagai seorang problem solver yang membangun hubungan objek dan makna di kepalanya yang merupakan internal representation dari masalah yang sedang dihadapi. Setiap orang dipastikan memiliki internal representation yang berbeda, sekalipun masalah yang dihadapinya sama. Menurut Bernhardt (1991), representasi internal ini merupakan output dari pusat pemrosesan itu. Output tersebut bukan merupakan duplikasi dari inputnya, melainkan intrapersonal conceptualisation atau pemahaman yang unik dari masing-masing individu pembaca.
Membaca juga memiliki fungsi sosial. Membaca adalah bagian dari budaya dan sekaligus membangun budaya. Sebuah teks bacaan adalah artefak sosial dan budaya yang memiliki nilai dan norma tertentu (Bernhardt, 1991: 13). Setiap masyarakat memiliki tatanan nilai dan norma yang unik dan berbeda dari masyarakat lainnya. Seorang pembaca yang efektif tidak memerhatikan aspek kebahasaan saja untuk memahami keseluruhan makna yang dibacanya tetapi juga menggunakan pengetahuannya tentang konteks bacaan, yaitu masyarakat dan budaya tempat teks itu dibuat. 
Membaca juga merupakan perpaduan antara pemahaman bentuk dan makna. Ada dua cara memahami bacaan, yaitu memahami bacaan dengan menganalisis teks dan memahami berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya. Biasanya pembaca memadukan kedua cara ini dalam proses pemahamannya. Dalam istilah Bernhardt (1991), proses membaca demikian itu sifatnya “multidimensional and multivariate.” Teks itu sendiri ada yang terlihat (seen text) seperti yang terbaca oleh pembaca, dan teks ‘tersembunyi’ (unseen text) yang merupakan maksud penulis yang biasanya mengandung nilai sosial dan budaya. Oleh karena itu, Bernhardt (1991:73) mengingatkan bahwa dalam membaca tidak cukup memerhatikan kata, kalimat, dan paragraf saja, sekalipun tanpa unsur-unsur itu tidak akan terjadi proses membaca.
Selain aspek morfologi dan sintaksis, Bernhardt (1991:85) mengatakan bahwa struktur teks juga memengaruhi pemahaman seseorang pada bacaan. Dalam pandangannya, hal tersebut dinamakan “rhetorical organisation of texts”. Aspek tersebut cukup penting dalam memahami teks karena di dalam pengorganisasian teks inilah dapat diketahui gagasan dan argumentasi dari penulisnya. 
 Bernhardt (1991) menyebutkan ada enam faktor heuristic dalam pemahaman isi bacaan. Tiga faktor berkaitan dengan teks (text driven), yaitu pengenalan kata, proses dekoding fonem-grafem sebagai upaya pencarian makna, dan pengenalan sintaksis kalimat. Tiga faktor lain berhubungan dengan pengetahuan pembaca (knowledge driven), yaitu intratextual perception, metacognition, dan prior knowledge. Ketiga faktor terakhir itu sifatnya tersembunyi dan tersirat. Oleh karena itu, dalam mengetahui pemahaman suatu bacaan diperlukan ketepatan dalam memahami unsur linguistik yang berhubungan dengan teks, namun juga berhubungan dengan pengalaman pembaca.

E. Formula SMOG untuk Mengukur Keterbacaan
Sebagaimana telah diungkapkan bahwa beberapa formula pengukuran keterbacaan telah banyak diciptakan, namun pada umumnya didasarkan pada kondisi nyata dari suatu teks yang dibaca atau atas text driven. Formula yang memungkinkan digunakan untuk menakar keterbacaan bahan ajar adalah SMOG (Simplified Measure of Gobbledygook) yang dikembangkan McLaughlin di pendidikan dasar dan menengah. 
Pengukuran keterbacaan dengan menggunakan Formula SMOG dimaksudkan untuk mengukur kesesuaian antara bacaan dengan usia pembaca. Formula SMOG dapat digunakan dengan mudah oleh para guru dalam memilih bahan bacaan. Formula ini dirancang untuk mengukur keterbacaan suatu bacaan yang sangat sedikit (minimal 10 kalimat) hingga bacaan yang sangat panjang (yang dilakukan dengan menggunakan sampel). 
Adapun langkah-langkah SMOG Test terdapat dua cara, yaitu Cara I (digunakan untuk bacaan panjang yang lebih dari 30 kalimat) dengan tahapan sebagai berikut:
(1) Dari suatu bacaan yang akan diukur dipilih 10 kalimat pada bagian awal, 10 kalimat pada bagian tengah, dan 10 kalimat pada bagian akhir bacaan sehingga diperoleh 30 kalimat;
(2) Menghitung kosakata yang memiliki tiga sukukata atau lebih dari seluruh kalimat yang telah dipilih tersebut (dari 30 kalimat);
(3) Jumlah kosakata tersebut digunakan untuk mencari tingkat kesesuaian bacaan dengan usia siswa melalui Tabel Konversi SMOG I sebagai berikut:

Tabel:
Nilai Konversi SMOG I
 Jumlah Total Kata yang  3 Sukukata Tingkat Keterbacaan (Usia) Jumlah Total Kata yang  3 Sukukata Tingkat Keterbacaan (Usia)
0 - 2        4       57 - 72     11
3 - 6        5       73 - 90     12
7 - 12      6       91 - 110   13
13 - 20   7      111 - 132   14
21 - 30   8     133 - 156   15
31 - 42   9     157 - 182   16
43 - 56 10    183 - 210   17
                       211 - 240  18

 Cara II (digunakan untuk bacaan pendek, yaitu 10 sampai dengan 30 kalimat) dengan langkah-langkah sebagai berikut:
(1) Menghitung jumlah kalimat dalam bacaan tersebut;
(2) Menghitung jumlah kosakata yang memiliki tiga sukukata atau lebih;
(3) Menggunakan jumlah kalimat dari bacaan yang diukur untuk menentukan nilai konversi dalam Tabel Konversi SMOG II;
(4) Menjumlahkan kosakata yang memiliki tiga sukukata atau lebih dengan nilai konversi untuk menentukan tingkat keterbacaan pada Tabel SMOG I; 
 Berdasarkan langkah-langkah ini maka dapat dinyatakan bahwa cara pertama digunakan jika kalimat yang menjadi sampel pengukuran berjumlah 30 kalimat atau lebih, sedangkan cara kedua dilakukan untuk mengukur keterbacaan suatu bacaan yang kurang dari 30 kalimat. Cara kedua ini memerlukan dua tabel konversi.  

G. Simpulan
Berdasarkan uraian di atas pada bagian ini dapat disimpulkan bahwa pembelajaran membaca merupakan pembelajaran yang masih perlu terus dikembangkan dari berbagai perspektif, baik karakteristik bacaan, pembaca, serta aktivitas membaca. 
Pembelajaran membaca dengan terlebih dahulu mengukur keterbacaan teks yang akan digunakan dalam pembelajaran merupakan sikap yang sangat arif dan bijak dilakukan oleh seorang guru profesional. Dengan demikian, ketika hasil pembelajaran dipandang kurang berhasil, mungkin bukan karena upaya yang dilakukan pendidik dalam kelas belum maksimal atau upaya peserta didik belum sungguh-sungguh, melainkan karena keterbacaan teks yang digunakan dalam pembelajaran tidak sesuai dengan usia baca peserta didik.  
Salah satu formula pengukuran keterbacaan yang mungkin digunakan oleh pendidik sebelum menggunakan teks tersebut dalam pembelajaran adalah formula SMOG (Simplified Measure of Gobbledygook) Test. Formula ini memang bulan yang terbaik dan menyeluruh, tetapi formula ini merupakan alternatif yang dapat dipilih pendidik secara sederhana dan cepat dalam menentukan keterbacaan teks.
   
H. Daftar Pustaka
Bernhardt, E.B. 1991. Reading development in a second language: Theoretical, empirical, and classroom perspectives. Norwood, NJ: Ablex.
Blau, E.K. 1982. The effect of syntax on readability for ESL students in Puerto Rico. TESOL Quarterly, 164, 517-528.
Chall, J.S. & Dale, E. 1995. Readability revisited: the new Dale-Chall readability formula. Cambridge, Massachusetts: Brookline Books.
Davison, A. & Green, G.M. Eds. 1988. Linguistic complexity and text comprehension: Readability issues reconsidered. Hillsdale, N.J.: Lawrence Erlbaum
Gilliland, John. 1972. Readability. London: Holder and Stroughton. 
Harrison, C. 1980. Readability in the Classroom. Cambridge: Cambridge University Press.
Klare, G.R. 1984. Readability: Handbook of Reading Research. New York: Longman Inc.
Piaget, Jean. 2002. Genetic Epistemology. [tersedia] http://tip.psychology.org. (29 Desember 2002).
Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: CV Diponegoro.
Rusyana, Yus dan Suherli (2004) Studi Keterbacaan Buku Pelajaran Sekolah Dasar. Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas.
Schrock, Kathleen. 1995. Elementary Reading Instruction. The McGraw-Hil Company. [tersedia] http://school.discovery.com (6 Sept 2003)
Smith, F. 1986. Understanding reading: A psycholinguistic analysis of reading and learning to read. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers. 
Suherli, Suhendra Yusuf, dan Wahyu Sundayana. 2006. Keterbacaan Buku Berstandar. Laporan Kajian, Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas.
Swaffar, J.K., Arens, K.M. & Byrnes, H. 1991. Reading for meaning: An integrated approach to learn language. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, Inc.
Tarigan, Henry Guntur. 1984. Keterampilan Membaca. Bandung: PT Angkasa.
Wassman, R. & Rinsky, L.A. 2000. Effective Reading in a Changing World. NJ: Prentice Hall.
World Bank. 1995. Indonesia: Book and Reading Development Project. Staff Appraisal report.


Pembentukan Asosiasi Pengajar Bahasa Indonesia

Oleh: Suherli
Sejalan dengan perkembangan dalam bidang bahasa Indonesia dan tuntutan kualitas pembelajaran melalui lembaga pendidikan maka sangat arif jika seluruh pendidik, baik guru maupun dosen dalam bidang bahasa Indonesia untuk melakukan upaya yang mengarah pada pengembangan dan peningkatan kualitas pendidikan bahasa Indonesia. Salah satu bentuk pengembangan itu adalah membentuk suatu organisasi profesi yang bersifat ilmiah, independen, dan tidak terikat pada kepentingan dan keuntungan kelompok atau mazhab tertentu. Alternatif nama organisasi profesi tersebut adalah APBI (Asosiasi Pengajar Bahasa Indonesia) yang beranggotakan guru dan dosen yang mengampu bidang kajian pendidikan dan pembelajaran bahasa Indonesia. 
Organisasi profesi ini merupakan wadah pengembangan profesionalisasi guru dan dosen yang aktivitasnya bertujuan:
(1) Mengembangkan keilmuan bidang pendidikan dan pembelajaran bahasa Indonesia melalui kegiatan:
(a) Seminar Ilmiah yang dilakukan secara rutin (agenda tahunan) yang menyajikan pemikiran-pemikiran terkini hasil penelitian para anggota (guru dan dosen) atau nara sumber yang dipandang dapat berkonstribusi pada pengembangan keilmuan;
(b) Menyajikan media komunikasi melalui media elektronik (internet) dalam bentuk penyajian hasil-hasil pemikiran, hasil penelitian, tanya-jawab persoalan pendidikan bahasa Indonesia yang dapat diunduh oleh seluruh anggota;
(c) Menerbitkan jurnal bidang pendidikan dan pembelajaran bahasa Indonesia untuk mewadahi berbagai pemikiran dan hasil penelitian para anggotanya;
(d) Menerbitkan buku untuk mempublikasikan hasil-hasil kajian yang dipandang sangat bermanfaat bagi anggota maupun bagi khalayak umum (misalnya, makalah-makalah yang memiliki karakteristik sama dan dapat disajikan dalam bentuk buku, disunting kembali menjadi buku-buku pengayaan, referensi, atau pandauan pendidik yang berdasarkan ketentuan Permendiknas Nomor 02/2008 merupakan buku yang digunakan dalam pembelajaran, selain buku teks pelajaran). 
(2) Mengembangkan dan melakukan pembinaan karier anggota profesi secara mandiri (jabatan fungsional guru atau dosen) melalui penyediaan berbagai fasilitas publikasi ilmiah (kegiatan seminar, publikasi jurnal ilmiah, publikasi buku).
(3) Meningkatkan kegiatan silaturahim sesama anggota profesi, baik dalam kegiatan ilmiah maupun ilmu amaliah. 
Susunan pengurus 
PENGURUS
ASOSIASI PENGAJAR BAHASA INDONESIA (APBI)
PERIODE 2009-2012


Dewan Penasehat :
  Ahmadslamet Harjasujana, Prof.,Dr.,M.A,M.Sc. 
  Yus Rusyana, Prof.,Dr.
  Syamsuddin AR., Prof.,Dr.,M.S.
  Kosadi Hidayat, Prof.,Dr.,M.Pd.
  Yoyo Mulyana, Prof.,Dr.,M.Ed.
  Abdul Rojak, Prof.,Dr.,M.Pd.

Ketua Umum : Suherli, Prof.,Dr.,M.Pd (Unigal)
Ketua I    : Andoyo Sastromiharjo, Dr.,M.Pd. (UPI)
Ketua II  : R. Panca Pertiwi Hidayati, Dr.,M.Pd. (Unpas)
Ketua III: Jojo Nuryanto, Drs.,M.Hum. (Unsil)
Ketua IV : Siti Maryam, Dr.,M.Pd. (Unsur)

Sekretaris Jenderal : Dadang Anshori, S.Pd, M.Si. (UPI)
Sekretaris I   : Teti Sobari, Dra., M.Pd. (STKIP Siliwangi)
Sekretaris II : Abdul Hasim, Dr., M.Pd. (STKIP Garut)

Bendahara            : Herdiana, Drs., M.M. (Unigal)
Wakil Bendahara : Yeti Mulyati, Dra.,M.Pd. (UPI)

Ketua I: Bidang Pengembangan Kualitas Pendidikan Bahasa Indonesia
Divisi Pengkajian dan Penelitian Pendidikan Bahasa
Ketua : Dedi Heryadi, Prof.Dr.,M.Pd. (Unsil)
Anggota : Dadun Kohar, Drs. (Unwir)
                  Nuny Sulistiany, Dra.,M.Pd. (UPI) 
                  Supian, Drs.,M.Pd. (Unpas)

Divisi Pengkajian dan Penelitian Pendidikan Sastra
Ketua     : Sumiyadi, Drs., M.Hum. (UPI)
Anggota : Dede Endang Mascita, Drs.,M.Pd. (Unswagati)
                 Wikanengsih, Dra.,M.Pd. (STKIP Siliwangi)
                 Nenden Lilis Aisyah, Dra.,M.Pd. (UPI)

Divisi Diklat Pendidikan Bahasa dan Sastra
Ketua     : Vismaia S. Damaianti, Dr., M.Pd. (UPI)
Anggota : Ika Mustika, Dra.,M.Pd. (STKIP Siliwangi)
                 Titin Nurhayatin, Dra.,M.Pd. (Unpas)
                Jaja, Drs.,M.Hum. (Unswagati)

Ketua II: Pembinaan Sumber Daya Organisasi
Divisi Pemetaan dan Pemberdayaan Potensi Anggota
Ketua     : R. Hendaryan, Drs., M.M. (Unigal)
Anggota : Iis Lisnawati, Dra.,M.Pd. (Unsil)
                  Eri Sarimanah, Dra.,M.Pd. (Unpak)
                  Nunung Sitaresmi, Dra.,M.Pd. (UPI)
   
Divisi Pembinaan Organisasi
Ketua     : Khaerudin Kurniawan, Drs., M.Pd (UPI)
Anggota : Yusida Gloriani, Dra.,M.Pd (Uniku)
                 Opi Masropi, Drs.,M.Pd. (Uninus)
                 Yuyun Yuniawati, Dra.,M.Pd (Unsil)

Ketua III: Pengembangan Jaringan Usaha dan Kerjasama

Divisi Penggalian Sumber Dana Organisasi
Ketua     : Sirojul Munir, Drs., M.M. (Unigal)
Anggota : Isah Cahyani, Dra.,M.Pd. (UPI)
                 Asep Saepulrohman, Drs.,M.Pd. (Unsap)
                Sri Aryani, Dra.,M.Pd. (STKIP PGRI Sukabumi)

Divisi Pengembangan Jaringan Kerjasama
Ketua     : Ma’mur Saadie, Drs., M.Pd (UPI)
Anggota : Asep Ganda Sadikin, Drs. (SMA 1 Ciamis)
                 Irfan Efendi, Drs.,M.Pd. (Uniku)
                 Linda Haslinda, Dra. (SMA 8 Bandung)

Ketua IV: Pengembangan Publikasi dan Sistem Informasi

Divisi Pengembangan Informasi Sumber Daya Organisasi
Ketua : Rohmat, Drs., M.Pd. (STKIP Siliwangi)
Anggota : Dadang Gunadi, Drs,M.Pd. (Unsap)
  Sufia Hidayat, Dra.,M.Pd. (Unpas)
  Nono Sudarmono, Drs. (SMA Majalengka)

Divisi Pengembangan Publikasi Ilmiah
Ketua     : Slamet Mulyana, Drs.,M.Pd. (LPMP)
Anggota : Kholid A. Harras, Drs. (UPI)
                 Sri Mulyanti, Dra.,M.Pd (Unsur)
                 Erwan Juhara, Drs. (SMA 10 Bandung)
 
                                                      Bandung, 25 Januari 2009

Ketua Umum,                                Sekretaris Jenderal, 
 
Suherli, Prof.,Dr.,M.Pd                Dadang Anshori, S.Pd, M.Si