Rabu, 04 Februari 2009

Pembelajaran Membaca Berbasis Teks Hasil Pengukuran Keterbacaan


Oleh: Suherli

A. Pendahuluan
Tulisan ini dimaksudkan untuk membuka wawasan para pendidik tentang peningkatan pembelajaran membaca dengan menggunakan teks yang terlebih dahulu dikaji keterbacaannya. Pembelajaran membaca dimaksudkan untuk meningkatkan kompetensi membaca, seperti membaca pemahaman, ekstensif, intensif, sekilas, cepat, dan memindai. Selain itu, perlu pula meningkatkan kualitas bacaan, ketika peserta didik belajar membaca teks, grafik, tabel, atau bacaan rumpang. Hal lain, yang juga sangat penting dilakukan pendidik adalah mengubah perilaku, motivasi, sikap, dan budaya membaca peserta didik.
Apabila dicermati secara mendalam, ternyata separuh hidup manusia digunakan untuk membaca, apalagi jika seseorang berada dalam lingkungan pendidikan. Siswa setiap saat berkomunikasi dengan bacaan, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Mahasiswa setiap saat berkomunikasi dengan bacaan untuk menggali keilmuan sesuai dengan minat masing-masing. Setiap saat, kita membaca berbagai lambang, baik dalam bentuk teks, pamflet, spanduk, plang, pengumuman, poster, acara televisi, jadwal perjalanan kereta, indeks bursa, nomor dan jurusan angkot, iklan, internet, hingga hot spot. Kondisi ini menunjukkan bahwa kegiatan membaca mendominasi seluruh kehidupan manusia sehingga pembelajaran membaca menjadi sangat penting ditingkatkan kualitasnya. Salah satu upaya yang perlu dilakukan pendidik adalah membelajarkan peserta didik dalam mengembangkan kompetensi membaca berbasis teks hasil kajian keterbacaan. 
Perbincangan keterbacaan akan selalu bertemali dengan bahasan kegiatan membaca dan pembaca, serta bahasan interaksi antara bacaan dengan pembaca. Kegiatan membaca berhubungan dengan fungsi indra baca dalam memaknai lambang atau simbol bacaan sebagai salah satu bentuk kegiatan berkomunikasi. Bahasan pembaca akan berhubungan dengan karakteristik seorang pembaca dan profil membaca. Oleh karena itu, bahasan interaksi pembaca dengan bacaan merupakan gabungan kebermaknaan simbol bacaan dan profil membaca dari seorang pembaca dengan bacaan. 
Kegiatan membaca telah menjadi kebutuhan dasar bagi setiap manusia modern. Wassman & Rinsky (2000) memprediksi terjadinya “an explosion of technological and general knowledge” pada abad ini dan terutama akan dikomunikasikan melalui buku dan barang cetakan lainnya, selain melalui internet. Oleh karena masyarakat modern akan selalu dibanjiri oleh berbagai jenis bacaan, mereka akan senantiasa meningkatkan kemampuan membacanya agar menjadi pembaca yang efektif dengan menggunakan strategi membaca dalam memahami bahan bacaan secara efisien.
Sampai saat ini, masih belum ditemukan suatu formula yang ampuh dalam menentukan tingkat keterbacaan suatu bacaan dalam bahasa Indonesia. Dari Discovery School (Schrock, 1995), disodorkan beberapa formula pengukuran keterbacaan, misalnya formula Dale-Chall yang digunakan untuk mengukur pemahaman bahan bacaan berdasarkan penguasaan tingkatan di bawahnya. Formula Flesch Reading Ease digunakan untuk mengukur kematangan bacaan yang ditunjukkan melalui rentang skor dari 0 sampai dengan 100. Formula Flesch Grade Level digunakan untuk mengukur bacaan dari dasar hingga menengah. Formula Fry Graph digunakan untuk menetapkan tingkatan kesesuaian bahan bacaan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Formula FOG digunakan untuk menetapkan dan menjaga penggunaan bahan bacaan dalam suatu penerbitan. Formula Powers-Sumner-Kearl digunakan untuk mengukur keutamaan bacaan melalui tingkatan dasar. Formula SMOG digunakan untuk memprediksi usia baca suatu bahan bacaan secara komprehensif. Formula FORCAST memfokuskan pada pengukuran fungsi literasi (kemelekwacanaan). Formula Spache digunakan untuk mengukur penguasaan kosakata siswa ke dalam empat tingkatan. Namun, formula-formula di atas hanya melakukan pengukuran berdasarkan penggunaan kata dalam suatu bacaan. Oleh karena itu, kajian membaca dan keterbacaan untuk mengukur teks berbahasa Indonesia atau teks bahasa Inggris untuk orang Indonesia masih memerlukan sentuhan para akademisi, baik sebagai bagian dari kegiatan penelitian dan pengabdian maupun sebagai penyelesasian studi.  
Kajian-kajian keterbacaan yang pada umumnya disajikan masih sebatas pada kalkulasi teks tersebut jika dibaca, berdasarkan pandangan psikologi perkembangan pembaca. Sementara itu, dari kepentingan suatu komunikasi keilmuan antara penulis teks dengan pembaca memiliki manfaat yang sangat luar biasa dalam pengembangan kualitas komunikasi keilmuan. Ketika seorang siswa atau mahasiswa menunjukkan daya serap terhadap bacaan, sebagai upaya penggalian informasi akademik, komunikasi tersebut akan terhambat jika derajat keterbacaan teks tersebut rendah. Untuk itulah mengukur keterbacaan suatu teks diperlukan, sebelum menggunakan teks tersebut dalam pembelajaran membaca.  


B. Membaca
Membaca merupakan salah satu keterampilan berbahasa, di samping keterampilan menyimak, berbicara, dan menulis. Keempat keterampilan ini merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Tarigan (1984) menyatakan bahwa keterampilan ini merupakan keterampilan catur tunggal, artinya empat tetapi satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Membaca merupakan kegiatan memaknai lambang-lambang bunyi atau lambang ortografis tertulis dalam kegiatan berbahasa. Pemaknaan ini akan dapat diwujudkan jika seseorang terlebih dahulu memahami fonologis dari lambang tersebut dan memahami makna morfologis dalam kaitan untaian kata pada suatu tata kalimat. 
 Secara hierarkis keterampilan membaca dimiliki seseorang bertolak dari keterampilan dasar lain, yaitu menyimak dan berbicara. Keterampilan membaca dibangun oleh kerangka pemahaman aspek kebahasaan yang diperolehnya dari aktivitas menyimak yang dilakukan. Kadar kemampuan ini dibangun pula oleh aktivitasnya dalam berbicara, sehingga fondasi awal tersebut bertemali secara erat dalam membentuk keterampilan membaca seseorang. Namun demikian, terdapat aspek yang sangat dominan dalam menentukan keterampilan membaca seseorang, yaitu pembelajaran memaknai lambang-lambang. Seseorang yang tidak mengalami pembelajaran memaknai lambang-lambang akan bertumpu pada kemampuan menyimak dan berbicara, sebagai bagian dari pemerolehan bahasa (language acquisition).
 Seseorang memiliki kemampuan membaca sangat beragam. Kemampuan tersebut bergantung pada pemahaman aspek kebahasaan dan ditentukan pula oleh usia pendidikan, aktivitas, pengalaman, dan motivasi dalam melakukan kegiatan membaca. Dalam pandangan ini maka membaca merupakan interaksi antara kemampuan membaca seseorang dengan bacaan. Bacaan akan memantulkan makna dan pembaca akan memaknai bacaan atas dasar latar belakang pembaca yang dipengaruhi oleh aspek-aspek yang berhubungan dengan pembaca. 
Pembaca akan memaknai bacaan sesuai dengan pemahaman kata dan maknanya atau bergantung pada word recognition yang dimilikinya. Dengan demikian, pembaca akan melakukan pengenalan kosakata (word recognition) pada saat melakukan kegiatan membaca yang dipengaruhi oleh latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang dimilikinya. Oleh karena itu, dalam kegiatan membaca seseorang bukan hanya harus memiliki kapasitas mengerti makna konseptual dari tulisan atau lambang bunyi, melainkan harus memiliki pula kemampuan berpartisipasi aktif secara penuh dalam menerapkan pemahaman sosial dan intelektual (White, 1985:56) yang merupakan background knowledge seseorang.
Bacaan merupakan hasil berpikir seseorang dalam berkomunikasi yang dituangkan ke dalam bentuk tulisan. Suatu bacaan secara kasat mata merupakan suatu kumpulan penggunaan kata, proses dekoding fonem-grafem, dan penggunaan unsur sintaksis. Bacaan selalu mengusung pesan hasil berpikir seseorang untuk dikomunikasikan kepada pembaca. Ketika pembaca memberikan pemaknaan terhadap lambang fonem-grafem berdasarkan word recognition dan background knowledge maka pemaknaan tersebut akan ditentukan pula oleh keadaan bacaan tersebut. 
   
C. Apakah Keterbacaan itu?
Keterbacaan dalam istilah bahasa Inggris disebut readability. Keterbacaan itu adalah kemampuan untuk dibaca dari seluruh unsur yang ada dalam teks (termasuk di dalamnya interaksi antar-teks) dan berpengaruh terhadap keberhasilan pembaca dalam memahami materi yang dibacanya pada kecepatan membaca yang optimal (Dale & Chall dalam Gilliland, 1972). Mc Laughin menambahkan bahwa keterbacaan itu berkaitan dengan pemahaman karena bacaan itu memiliki daya tarik tersendiri yang memungkinkan pembacanya terus tenggelam dalam bacaan.
Gilliland kemudian menyimpulkan keterbacaan itu berkaitan dengan tiga hal, yakni kemudahan, kemenarikan, dan keterpahaman. Kemudahan membaca berhubungan dengan bentuk tulisan, yakni tata huruf (topografi) seperti besar huruf dan lebar spasi. Kemudahan ini berkaitan dengan kecepatan pengenalan kata, tingkat kesalahan, jumlah fiksasi mata per detik, dan kejelasan tulisan (bentuk dan ukuran tulisan). Kemenarikan berhubungan dengan minat pembaca, kepadatan ide pada bacaan, dan keindahan gaya tulisan. Keterpahaman berhubungan dengan karakteristik kata dan kalimat, seperti panjang-pendeknya dan frekuensi penggunaan kata atau kalimat, bangun kalimat, dan susunan paragraf. 
Selanjutnya, Klare (1984:726) menyatakan bahwa bacaan yang memiliki tingkat keterbacaan yang baik akan memengaruhi pembacanya dalam meningkatkan minat belajar dan daya ingat, menambah kecepatan dan efisiensi membaca, dan memelihara kebiasaan membacanya.
Pada dasarnya, tingkat keterbacaan itu dapat ditentukan melalui dua cara, yaitu melalui rumus/formula keterbacaan dan melalui respons pembaca (McNeill, et.al., 1980; Singer & Donlan, 1980). Formula keterbacaan pada dasarnya adalah instrumen untuk memprediksi kesulitan dalam memahami bacaan. Skor keterbacaan berdasarkan formula ini didapat dari jumlah kata yang dianggap sulit, jumlah kata dalam kalimat, dan panjang kalimat pada sampel bacaan yang diambil secara acak. Formula Flesch (1974), Grafik Fry (1977), dan Grafik Raygor (1984) menggunakan rumus keterbacaan yang hampir sama. Dari ketiga formula itu, Grafik Fry lebih populer dan banyak digunakan karena formula ini relatif sederhana dan mudah digunakan. 
Tingkat keterbacaan wacana juga dapat diperoleh dari tes keterbacaan terhadap sejumlah pembaca dalam bentuk tes kemampuan memahami bacaan. Tes itu menguji apa yang disebutkan oleh Bernhardt (1991) sebagai ’enam faktor heuristic dalam pemahaman isi bacaan’. Tiga faktor berkaitan dengan teks (text driven), yaitu pengenalan kata, proses dekoding fonem-grafem, dan pengenalan sintaksis kalimat. Tiga faktor lain berhubungan dengan pengetahuan pembaca (knowledge driven), yaitu intra-textual perception, metacognition, dan prior knowledge. Ketiga faktor terakhir itu sifatnya tersembunyi dan tersirat, sebagaimana telah dibahas pada bagian terdahulu. 
Sementara itu, Gilliland (1972) menyebutkan lima cara mengukur tingkat keterbacaan, yakni penilaian subjektif, tanya jawab, formula keterbacaan, grafik & Carta, dan teknik cloze. Penilaian subjektif dilakukan oleh sejumlah orang tertentu – seperti guru, pustakawan, editor, dan kelompok pembaca berdasarkan pengamatan atas isi, pola, kosakata, format dan pengorganisasian suatu bacaan. Oleh karena sifatnya subjektif, keabsahan hasil penilaiannya bergantung pada keandalan para penilai. Jika penilai memiliki pengetahuan yang memadai tentang aspek-aspek keterbacaan, maka hasil penilaian biasanya memiliki validitas yang baik.

D. Bacaan, Membaca, dan Keterbacaan
Dalam literatur linguistik, teori membaca dikelompokkan berdasarkan tiga perspektif, yaitu perspektif kognitif, perspektif sosial, dan perspektif operasi teks-dan-pengetahuan (text-driven and knowledge-driven operation). Dalam padangan ahli kognitif, seorang pembaca adalah seperti sebuah komputer, ia memiliki pusat pemrosesan data yang terletak di dalam otaknya (Bernhardt, 1991: 8). Informasi yang didapat dari bacaan adalah input yang diolah oleh otak melalui beberapa tahapan dengan menggunakan hipotesis “jika…maka…”. Pemahaman akan didapat apabila hipotesis itu telah dapat dijawab pembaca. Dalam pandangan ini, pembaca dianggap sebagai seorang problem solver yang membangun hubungan objek dan makna di kepalanya yang merupakan internal representation dari masalah yang sedang dihadapi. Setiap orang dipastikan memiliki internal representation yang berbeda, sekalipun masalah yang dihadapinya sama. Menurut Bernhardt (1991), representasi internal ini merupakan output dari pusat pemrosesan itu. Output tersebut bukan merupakan duplikasi dari inputnya, melainkan intrapersonal conceptualisation atau pemahaman yang unik dari masing-masing individu pembaca.
Membaca juga memiliki fungsi sosial. Membaca adalah bagian dari budaya dan sekaligus membangun budaya. Sebuah teks bacaan adalah artefak sosial dan budaya yang memiliki nilai dan norma tertentu (Bernhardt, 1991: 13). Setiap masyarakat memiliki tatanan nilai dan norma yang unik dan berbeda dari masyarakat lainnya. Seorang pembaca yang efektif tidak memerhatikan aspek kebahasaan saja untuk memahami keseluruhan makna yang dibacanya tetapi juga menggunakan pengetahuannya tentang konteks bacaan, yaitu masyarakat dan budaya tempat teks itu dibuat. 
Membaca juga merupakan perpaduan antara pemahaman bentuk dan makna. Ada dua cara memahami bacaan, yaitu memahami bacaan dengan menganalisis teks dan memahami berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya. Biasanya pembaca memadukan kedua cara ini dalam proses pemahamannya. Dalam istilah Bernhardt (1991), proses membaca demikian itu sifatnya “multidimensional and multivariate.” Teks itu sendiri ada yang terlihat (seen text) seperti yang terbaca oleh pembaca, dan teks ‘tersembunyi’ (unseen text) yang merupakan maksud penulis yang biasanya mengandung nilai sosial dan budaya. Oleh karena itu, Bernhardt (1991:73) mengingatkan bahwa dalam membaca tidak cukup memerhatikan kata, kalimat, dan paragraf saja, sekalipun tanpa unsur-unsur itu tidak akan terjadi proses membaca.
Selain aspek morfologi dan sintaksis, Bernhardt (1991:85) mengatakan bahwa struktur teks juga memengaruhi pemahaman seseorang pada bacaan. Dalam pandangannya, hal tersebut dinamakan “rhetorical organisation of texts”. Aspek tersebut cukup penting dalam memahami teks karena di dalam pengorganisasian teks inilah dapat diketahui gagasan dan argumentasi dari penulisnya. 
 Bernhardt (1991) menyebutkan ada enam faktor heuristic dalam pemahaman isi bacaan. Tiga faktor berkaitan dengan teks (text driven), yaitu pengenalan kata, proses dekoding fonem-grafem sebagai upaya pencarian makna, dan pengenalan sintaksis kalimat. Tiga faktor lain berhubungan dengan pengetahuan pembaca (knowledge driven), yaitu intratextual perception, metacognition, dan prior knowledge. Ketiga faktor terakhir itu sifatnya tersembunyi dan tersirat. Oleh karena itu, dalam mengetahui pemahaman suatu bacaan diperlukan ketepatan dalam memahami unsur linguistik yang berhubungan dengan teks, namun juga berhubungan dengan pengalaman pembaca.

E. Formula SMOG untuk Mengukur Keterbacaan
Sebagaimana telah diungkapkan bahwa beberapa formula pengukuran keterbacaan telah banyak diciptakan, namun pada umumnya didasarkan pada kondisi nyata dari suatu teks yang dibaca atau atas text driven. Formula yang memungkinkan digunakan untuk menakar keterbacaan bahan ajar adalah SMOG (Simplified Measure of Gobbledygook) yang dikembangkan McLaughlin di pendidikan dasar dan menengah. 
Pengukuran keterbacaan dengan menggunakan Formula SMOG dimaksudkan untuk mengukur kesesuaian antara bacaan dengan usia pembaca. Formula SMOG dapat digunakan dengan mudah oleh para guru dalam memilih bahan bacaan. Formula ini dirancang untuk mengukur keterbacaan suatu bacaan yang sangat sedikit (minimal 10 kalimat) hingga bacaan yang sangat panjang (yang dilakukan dengan menggunakan sampel). 
Adapun langkah-langkah SMOG Test terdapat dua cara, yaitu Cara I (digunakan untuk bacaan panjang yang lebih dari 30 kalimat) dengan tahapan sebagai berikut:
(1) Dari suatu bacaan yang akan diukur dipilih 10 kalimat pada bagian awal, 10 kalimat pada bagian tengah, dan 10 kalimat pada bagian akhir bacaan sehingga diperoleh 30 kalimat;
(2) Menghitung kosakata yang memiliki tiga sukukata atau lebih dari seluruh kalimat yang telah dipilih tersebut (dari 30 kalimat);
(3) Jumlah kosakata tersebut digunakan untuk mencari tingkat kesesuaian bacaan dengan usia siswa melalui Tabel Konversi SMOG I sebagai berikut:

Tabel:
Nilai Konversi SMOG I
 Jumlah Total Kata yang  3 Sukukata Tingkat Keterbacaan (Usia) Jumlah Total Kata yang  3 Sukukata Tingkat Keterbacaan (Usia)
0 - 2        4       57 - 72     11
3 - 6        5       73 - 90     12
7 - 12      6       91 - 110   13
13 - 20   7      111 - 132   14
21 - 30   8     133 - 156   15
31 - 42   9     157 - 182   16
43 - 56 10    183 - 210   17
                       211 - 240  18

 Cara II (digunakan untuk bacaan pendek, yaitu 10 sampai dengan 30 kalimat) dengan langkah-langkah sebagai berikut:
(1) Menghitung jumlah kalimat dalam bacaan tersebut;
(2) Menghitung jumlah kosakata yang memiliki tiga sukukata atau lebih;
(3) Menggunakan jumlah kalimat dari bacaan yang diukur untuk menentukan nilai konversi dalam Tabel Konversi SMOG II;
(4) Menjumlahkan kosakata yang memiliki tiga sukukata atau lebih dengan nilai konversi untuk menentukan tingkat keterbacaan pada Tabel SMOG I; 
 Berdasarkan langkah-langkah ini maka dapat dinyatakan bahwa cara pertama digunakan jika kalimat yang menjadi sampel pengukuran berjumlah 30 kalimat atau lebih, sedangkan cara kedua dilakukan untuk mengukur keterbacaan suatu bacaan yang kurang dari 30 kalimat. Cara kedua ini memerlukan dua tabel konversi.  

G. Simpulan
Berdasarkan uraian di atas pada bagian ini dapat disimpulkan bahwa pembelajaran membaca merupakan pembelajaran yang masih perlu terus dikembangkan dari berbagai perspektif, baik karakteristik bacaan, pembaca, serta aktivitas membaca. 
Pembelajaran membaca dengan terlebih dahulu mengukur keterbacaan teks yang akan digunakan dalam pembelajaran merupakan sikap yang sangat arif dan bijak dilakukan oleh seorang guru profesional. Dengan demikian, ketika hasil pembelajaran dipandang kurang berhasil, mungkin bukan karena upaya yang dilakukan pendidik dalam kelas belum maksimal atau upaya peserta didik belum sungguh-sungguh, melainkan karena keterbacaan teks yang digunakan dalam pembelajaran tidak sesuai dengan usia baca peserta didik.  
Salah satu formula pengukuran keterbacaan yang mungkin digunakan oleh pendidik sebelum menggunakan teks tersebut dalam pembelajaran adalah formula SMOG (Simplified Measure of Gobbledygook) Test. Formula ini memang bulan yang terbaik dan menyeluruh, tetapi formula ini merupakan alternatif yang dapat dipilih pendidik secara sederhana dan cepat dalam menentukan keterbacaan teks.
   
H. Daftar Pustaka
Bernhardt, E.B. 1991. Reading development in a second language: Theoretical, empirical, and classroom perspectives. Norwood, NJ: Ablex.
Blau, E.K. 1982. The effect of syntax on readability for ESL students in Puerto Rico. TESOL Quarterly, 164, 517-528.
Chall, J.S. & Dale, E. 1995. Readability revisited: the new Dale-Chall readability formula. Cambridge, Massachusetts: Brookline Books.
Davison, A. & Green, G.M. Eds. 1988. Linguistic complexity and text comprehension: Readability issues reconsidered. Hillsdale, N.J.: Lawrence Erlbaum
Gilliland, John. 1972. Readability. London: Holder and Stroughton. 
Harrison, C. 1980. Readability in the Classroom. Cambridge: Cambridge University Press.
Klare, G.R. 1984. Readability: Handbook of Reading Research. New York: Longman Inc.
Piaget, Jean. 2002. Genetic Epistemology. [tersedia] http://tip.psychology.org. (29 Desember 2002).
Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: CV Diponegoro.
Rusyana, Yus dan Suherli (2004) Studi Keterbacaan Buku Pelajaran Sekolah Dasar. Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas.
Schrock, Kathleen. 1995. Elementary Reading Instruction. The McGraw-Hil Company. [tersedia] http://school.discovery.com (6 Sept 2003)
Smith, F. 1986. Understanding reading: A psycholinguistic analysis of reading and learning to read. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers. 
Suherli, Suhendra Yusuf, dan Wahyu Sundayana. 2006. Keterbacaan Buku Berstandar. Laporan Kajian, Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas.
Swaffar, J.K., Arens, K.M. & Byrnes, H. 1991. Reading for meaning: An integrated approach to learn language. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, Inc.
Tarigan, Henry Guntur. 1984. Keterampilan Membaca. Bandung: PT Angkasa.
Wassman, R. & Rinsky, L.A. 2000. Effective Reading in a Changing World. NJ: Prentice Hall.
World Bank. 1995. Indonesia: Book and Reading Development Project. Staff Appraisal report.


1 komentar:

  1. saya sedang nyusun skripsi mengenai pemehaman teks. mohon bantuannya.. buku apa aja yang bsa buat reference

    BalasHapus